Header Ads Widget

SELAMAT DATANG DI WEBSAIT KABAR MERAH PUTIH

Jalur Rempah Membawa Penjajah Dari MALAKA ke MALUKU - Oleh Nunu A.Hamijaya (Koordinator Penulis Historiografi UIBI )


KABARMERAHPUTIH,--Pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat mampu menguasai daratan dan perairan Asia Tenggara, belum ada  negeri  apalagi negara  bernama  Indonesia. Kawasan   Nusantara  atau  Biladil   Jawi  yang  sekarang kita  kenal sebagai  Hindia Belanda lalu bernama   Indonesia  terdiri  dari    pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kekaisaran, kadang-kadang hidup berdampingan dengan damai sementara di lain waktu mereka berada pada kondisi berperang satu sama lain.

Jaringan perdagangan terpadu telah berkembang di wilayah ini terhitung sejak awal permulaan  sejarah Asia. Terhubung ke jaringan perdagangan itu merupakan aset yang penting bagi sebuah kerajaan dan seorang raja untuk mendapatkan kekayaan dan komoditas, yang diperlukan untuk menjadi kekuatan besar dan berpengaruh. Namun, semakin global jaringan perdagangan itu, semakin banyak pengaruh asing berhasil masuk ke Nusantara; suatu perkembangan yang akhirnya mengarah pada kondisi  penjajahan (kolonialisme).

Epicentrum  Sejarah  Indonesia  berada  di bagian barat Nusantara (khususnya di pulau Sumatera dan Jawa). Sementara  sebagian besar bagian timur Nusantara memiliki sedikit kegiatan ekonomi sepanjang sejarah karena terletaknya jauh dari jalur-jalur perdagangan utama (seperti Selat Malaka). Maka kerajaan-kerajaan dan suku-suku di bagian timur tidak bisa menjadi kekuatan politik yang berpengaruh; suatu situasi yang sebenarnya berlanjut hingga hari ini!

Bukan  Jalur   Sutera

Historiografi   Nusantara menyebutkan  tentang jalur  sutera  yang  terbentuk kira-kira abad ke 2 masehi sebagai hal yang utama, ternyata  bukan.  Jalur   rempah- lah yang membentuk  jaringan perdagangan  lewat   laut (maritime).  Jalur pelayaran laut tersebut   menghubungkan  Tiongkok, Laut Tengah, dan Jepang. Rute pelayaran ini terus berkembang mulai dari Laut Merah, Teluk Persia, dan India. Selain itu juga muncul rute pelayaran mulai dari India, Asia Tenggara, Tiongkok, dan Jepang mengikuti arah angin muson yang sedang berhembus.

Rempah menjadi komoditas utama perdagangan jalur maritim antara India, Mesir, dan Eropa yang sudah terjadi beberapa abad sebelum masehi. Komoditas rempah ini antara lain ialah lada dan kayu manis dari Srilanka. Sementara itu jalur maritim dari India ke timur hingga Nusantara dan Tiongkok pada waktu itu belum berkembang dengan baik.

Jalur perniagaan maritim Nusantara dengan  Tiongkok terjadi pada abad 5 M Menurut O.W.WOLTERS (1967), para pelaut Nusantara sudah mempunyai kemampuan berlayar sampai ke negeri Tirai Bambu. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam jejak tulisan para pejabat istana Tiongkok tentang kedatangan delegasi dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara. Menurut Anthony Reid (2002), memasuki abad ke-12 relasi perniagaan yang terjalin antara Nusantara dan Tiongkok banyak menggunakan kapal-kapal Nusantara sebagai sarana transportasinya. 

D.G.A HALL (1988)     menulis bahwa  Jalur Rempah Nusantara mulai berkembang ketika terjadi konflik kerajaan-kerajaan di Asia Tengah yang mengganggu perniagaan emas India. Hal ini menyebabkan India membeli mata uang emas dari Kerajaan Romawi. Perniagaan mata uang emas ini kemudian dilarang oleh Kaisar  Vespasianus yang berkuasa pada tahun 69-79 M karena berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi Kerajaan Romawi. Inilah yang memaksa India untuk mencari sumber emas baru di negeri-negeri Timur.Ternyata emas itu adalah rempah-rempah yang menjadi buruan orang-orang Eropa. Akhirnya, perniagaan India mengambil arah baru menuju timur.

HENDRIK E. NIEMEIJER (2015)  menyatakan bahwa rempah Nusantara memiliki kualitas dan variasi yang lebih lengkap daripada rempah Malabar India. Selain itu, harga rempah Nusantara hanya sepertiga dari harga rempah Malabar. Komoditas rempah Nusantara akhirnya mampu menyingkirkan komoditas rempah dari Srilanka di kawasan perdagangan Laut Mediterania pada abad 1 M. Ketika datang ke Nusantara, para pedagang India membawa komoditas tekstil untuk ditukar dengan komoditas rempah. Ekonomi barter menjadi salah satu ciri khas pada masa itu. Selain itu, beras India juga menjadi alat barter untuk mendapatkan komoditas rempah. Hubungan dagang yang terjalin antara Nusantara dan India ini semakin membuka Jalur Rempah Nusantara lebih dikenal oleh bangsa yang lebih luas.

ANDRE GUNDER FRANK (1998) menyatakan bahwa komoditas rempah merupakan komoditas utama yang diburu oleh para pedagang dari negeri Tiongkok. Komoditas rempah ini sering ditukar dengan kain sutera dalam transaksi tukar menukar barang antara kedua belah pihak. Jadi, keberadaan kain sutera di Nusantara bukan merupakan komoditas pokok yang diburu oleh para pedagang Nusantara. Tujuan utama para pedagang Nusantara adalah menjual komoditas rempah kepada para pedagang Tionghoa dan bukan membeli sutera dari mereka. Dengan demikian hingga abad ke-12 hubungan perniagaan antara Tiongkok dengan Nusantara masih didominasi oleh komoditas rempah.

Kedatangan bangsa Eropa Barat  (Portugis dan Belanda)   karena  rempah-rempah ini.  Hasrat ingin menguasai  Pulau Run (Pulau Rempah) Belanda  rela menukarnya dengan Pulau Manhattan sebagaimana tercatat dalam Perjanjian Breda pada tanggal 31 Juli 1667 di Kota Breda, Belanda. Pasal 3 Perjanjian Breda memutuskan Pulau Run di Maluku yang merupakan daerah jajahan Inggris menjadi milik Belanda. Adapun  Pulau Manhattan (Nieuw Amsterdam) di Amerika yang merupakan jajahan Belanda resmi menjadi milik  Inggris.

 Genosida Rakyat-Muslim Banda

Daerah Banda sekarang termasuk provinsi Maluku. Pada masa lampau, Banda pernah menjadi daerah yang mempunyai arti penting karena merupakan salah satu daerah penghasil rempah-rempah yang sangat laku di Eropa. Hubungan pertama orang Belanda dengan kepulauan yang kaya ini terjadi pada tahun 1599 ketika Jacob van Heemskerck datang di Lontor untuk mencari rempahrempah. Setelah itu, perlahan-lahan orang Belanda berusaha menanamkan kekuasaannya atas daerah ini.

Pala merupakan salah satu komoditas rempah yang pada masa lalu hanya tumbuh di Kepulauan Banda, termasuk di Pulau Run. Para pedagang dari Melayu, Tiongkok, dan India datang ke Kepulauan Banda untuk membeli pala untuk kemudian dijual melalui kota Bandar utama seperti Malaka dan Calicut.  Pala ini selanjutnya dibeli oleh para pedagang  Arab dan dibawa melalui Teluk Persia dan Laut Merah, menuju Jazirah Arab dan Alexandria. Setelah itu, pala diekspor menuju Benua Eropa. Di Benua Biru, harga setengah kilogram pala setara dengan tujuh lembu jantan gemuk.

National Geographic mencatat bahwa harga pala dapat mencapai enam puluh ribu kali lipat dari harga beli di Kepulauan Banda. Pala diburu karena diyakini dapat meningkatkan vitalitas maupun bahan pengawet. Tanpa buah pala, kaum bangsawan dan borjuis Eropa hanya seperti menyantap bangkai dan makanan basi.

Ketika Kekaisaran Bizantium runtuh, pala  hilang    dari peredaran di Eropa karena para pedagang sulit untuk melewati Alexandria. Kesultanan Usmani menutup gerbang selatan Eropa tersebut. Para pelaut Eropa dan kongsi-kongsi dagang mereka akhirnya mulai mencari tanah asal pala dan menemukannya di pulau-pulau Kepulauan Banda.

Penjajahan Belanda di Kepulauan Banda tercatat dalam sejarah dunia sebagai penjajahan terkejam di dunia. Tanpa kenal ampun, tentara-tentara VOC membantai penduduk asli kepulauan rempah ini sehingga dari lima belas ribu jiwa hanya tersisa enam ratus orang saja. Sungguh merupakan aksi genosida khas penjajah Eropa demi menguasai “emas” Nusantara.



Pala sebagai salah satu komoditi penting juga membawa suatu luka sejarah pada masyarakat Banda, di mana karena pala pada saat era kolonial dahulu terjadi sebuah genosida penduduk Banda Neira oleh penjajah Belanda. Miles menggambarkan satu pertarungan dramatis antara perusahaan dagang Belanda dengan perusahaan dagang Inggris di Banda pada abad ke-17 sebagai “Perang Pala”. Bagi Miles, masyarakat asli Banda secara relatif merupakan korban pasif dari genosida (Kaartinen, 2013). Peristiwa genosida terjadi pada tahun 1621, Jenderal VOC kala itu JP Coen berhasil membunuh 44 orang kaya Banda. Istilah orang kaya merujuk pada tokoh atau pemimpin di beberapa wilayah di Banda (Rosojati, 2019).

Seperti yang dijelaskan oleh Kapten Keeling seorang  pedagang Inggris pada tahun 1609, Banda adalah “bangsa yang terdiri dari banyak orang yang majemuk” (Purchas dan Hakluyt dalam Lape, 2000). Setidaknya terdapat sebuah referensi dalam  dokumen sejarah yang mencatat penduduk Turki, Persia, Bengal, Gujarat, Cina, Jepang, Melayu, Jawa, orang Makassar, dan orang-orang dari Pulau Maluku lainnya seperti Seram, Ambon, Kei, Ternate, Tidore, dan Aru di Banda sebelum kedatangan Bangsa Eropa.

Kebudayaan warisan masyarakat asli Banda adalah budaya orang muslim Banda. Agama Islam hasil akulturasi dengan para pedagang Arab menjadi nilai utama bagi orang Banda. Segala prosesi dan ritual tidak dapat dilepaskan dari doa-doa atau mitologi yang dikaitkan dengan Islam. Budaya Islam Banda menjadi nilai yang utama. Seorang Banda mungkin saja mereka tidak beragama Islam namun dalam hal tradisi mereka harus memegang nilai-nilai asli tersebut. Bahkan dulu pernah seorang kepala adat di Banda Neira seorang Belanda beragama Nasrani namun dalam prosesi adat tetap menggunakan cara-cara Islam.

Setelah kedatangan Belanda, Kepulauan Banda juga kedatangan penjajah Eropa lainnya dari Kerajaan Inggris. Inggris akhirnya dapat menguasai Pulau Run pada tahun 1616. Kehadiran dua kerajaan penjajah dari Eropa ini mau tidak mau akhirnya memicu terjadinya perang antara kedua pihak. 

Perang ini berlangsung selama lima tahun dan Belanda sukses menguasai 10 dari 11 pulau di Banda kecuali Pulau Run yang diduduki Inggris. Akhirnya, demi “emas” Nusantara, Pulau Run dengan luas 6 kilometer persegi ditukar dengan Pulau Manhattan yang lebih luas 18 kali lipat Pulau Run. Kerajaan Belanda pun sukses menancapkan benderanya di seluruh Kepulauan Banda yang mengandung “emas” Nusantara, yaitu pala.

Rempah : Simbol Kebangsawaanan Eropa

Kebutuhan akan rempah semakin tinggi setelah perang salib usai. Masyarakat Eropa mulai pada keadaan yang stabil sehingga kemakmuran bangsa semakin meningkat. Munculnya kelas elit pasca perang saling menumbuhkan gaya hidup kelas atas. Salah satu cirinya yakni selalu terdapat sajian makanan berempah saat pesta. Rempah menjadi salah satu simbol kebangsawanan mereka ( lihat  Krondl: 2007)

Usainya PERANG SALIB dan penaklukan KEKHILAFAHAN USTMANIYYAH  atas  BIZANTIUM memberikan wajah baru pada geopolitik Eropa dan Timur Tengah. Kondisi ini sangat penting untuk dinamika perdagangan rempah baik di Eropa sebagai pasar utama dan daerah-daerah di Nusantara sebagai pemasok utama rempah. Penaklukan Turki membuat rempah di Eropa semakin susah dan mahal, sedangkan masyarakat Eropa telah terlanjur terikat dengan cita rasa rempah. Bahkan lebih jauh, rempah telah menjadi satu simbol status yang penting kala itu.

Tukar guling Pulau Run dan Manhattan adalah bukti bahwa perdagangan jalur maritim dunia lebih didominasi oleh komoditas rempah dan bukan kain sutera. Tidak ada catatan sejarah dunia yang menceritakan tukar guling pulau kecil dengan pulau besar hanya karena ingin menguasai kain sutera. ANTHONY REID (2002) menyatakan  bahwa jalur pelayaran dan perniagaan di Nusantara lebih cocok disebut sebagai Jalur Rempah daripada Jalur Sutera.( Red,- Merah Putih )

 

Posting Komentar

0 Komentar