KABARMERAHPUTIH,--Perjuangan anak bangsa Indonesia untuk merdeka 100 persen , kandas gara-gara sikap politik elit nasionalnya sendiri ! Pasca Resolusi Jihad-nya HADRATUS SYEIKH HASYIM ASHARI, sebenarnya posisi mental perjuangan militer Indonesia dalam mental SYAHID, atau dalam istilah Jepang, KAMIKAZE! Namun, gara-gara SJAHRIR yang bermental sosialis-borjuis didikan Barat dan sudah bersahabat lama dengan Van Mook sejak di Belanda, dia mengalihkannya menjadi perjuangan diplomasi, karena TAKUT MATI dan tak mau perang gerilya-lagi ke hutan-hutan sebagaimana Panglima SOEDIRMAN ! Padahal sebagai seorang sosialis-komunis, bukankah dia tidak percaya AKHIRAT, sehingga jika MATI pun dia berkeyakinan tak akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak! SJAHRIR atasnama pemerintah sebagai Perdana Menteri, meminta GENCATAN SENJATA terhadap SEKUTU ! Bukan sebaliknya! Ini adalah bentuk lain dari ‘kekalahan perang’ !
Maka, sejarah
pun berlanjut dengan perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian RENVILLE. Perjanjian Renville itu diawal
menjanjikan Indonesia menjadi negara Uni Indonesia-Belanda dengan sistem
federasi negara yang didukung MOH. HATTA yang memang pro-federalisme daripada kesatuan.
Bagi M. HATTA, menjadi negara serikat pun adalah bentuk lain
menuju kemerdekaan dan
kedaulatan. Terhafdap perjanjian RENVILLE ini , hanya TAN MALAKA yang
jelas-jelas menolak dengan sikap politik yang konfrontatifnya. Berbeda
dengan sikap militer, yang juga SANGAT TERPAKSA mengikuti keputusan politik para politis sipil, seperti AMIR SYARIFUDIN,yang juga dari kelompok
sosialis-komunis borjuis.
Bagaimana,
sebagai pemilik sah negeri ini, pemerintsh RI-nya SOEKARNO-HATTA-SJAHRIR bersedia menyerahkan sebagian besar
wilayahnya kepada pihak BELANDA? Hanya untuk sebuah pengakuan politik de facto? Bukankah, itu menunjukkan bahwa yang berkuasa
atas tanah jajahan adalah BELANDA? Sekalipun katanya sudah menyatakan MERDEKA dengan Proklamasi 17
Agustsu 1945?
Perundingan
Linggajati menghasilkan keputusan yang kemudian disebut PERJANJIAN
LINGGAJATI yang memiliki 17 Pasal, dari
17 pasal tersebut terdapat 3 pasal pokok, diantaranya adalah:
a. Belanda
mengakui Republik Indonesia secara de facto dengan wilayah kekuasan meliputi
Sumatera, Jawa, Madura; Belanda akan meninggalkan
Indonesia selambat-lambatnya 1 Januari
1949
b.
Menyepakati pembentukan negara serikat dengan nama NEGARA INDONESIA SERIKAT
(RIS) yang terdiri dari RI, Kalimantan
dan Timur Besar sebelum 1 Januari 1949.
c. RIS dan
Belanda akan membentuk UNI INDONESIA-BELANDA dengan ratu Belanda sebagai ketua.
Dalam
pelaksanaannya, perjanjian ini tidak berjalan baik. Pada tanggal 20 Juli 1947
diketahui Gubernur Jendral H. J. Van
Mook memutuskan perjanjian secara sepihak. H. J Van Mook mendeklarasikan bahwa Belanda
tidak terkait dengan perjajian tersebut.Hal ini berlaku sejak tanggal 21 Juni 1947, sebelum satu tahun perjanjian
linggarjat genap dibuat. Terjadilah adanya Agresi Militer Belanda I.
Pasca Perjanjian Linggajati yang dilanggar Belanda, maka terjadilah
situasi konfrontatatif antara Indonesia – Belanda, hingga terjadilah
perjanjian baru yaitu RENVILLE
ditangan Perdana Menteri
AMIR SYARIFUDIN, yang juga dari sayap kiri (sosialis -komunis).
Perundingan Renville yang ditandatangani
pada 17 Januari 1948
jelas-jelas dirancang sejak
awal untuk merugikan
Indonesia. Wilayah kedaulatan RI menjadi semakin sempit dengan
diterapkannya aturan Garis van Mook atau
Garis Status Quo. Garis van Mook mengambil nama
dari Hubertus van Mook, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda terakhir. Garis van Mook adalah perbatasan buatan yang
memisahkan wilayah milik Belanda dan Indonesia sebagai hasil dari Perjanjian
Renville.
Perjanjian
Renville pun tak berusia lama, karena Belanda melanggarnya dengan melakukan
Aksi Polisioner (Agresi Militer II),
sehingga terjadinya penangkapan atas
Soekarno-Hatta dan beberapa Menteri kaninetnya.
Mereka menjadi TAWANAN PERANG,
sehingga status mereka tidak lagi
sebagai presiden atau wakil presiden.
Soekarno MENYERAH- alias mengibarkan bendera Putih ! Atas dasar itu, Belanda menganggap
bahwa Negara RI-Yogyakarta sudah tamat riwayatnya! Meskipun demikian, wilayah Sumatera sebagai wilayah yang
termasuk de facto- nya RI -Yogyakarta, segera mendirikan PDRI
(Pemerintahan Darurat Republik Indonesia - Yogyakarta). Namun,
segera saja PDRI dibombardir hendak
dihancurkan dan tidak diakui
Belanda dan juga Soekarno-Hatta.
Namun aneh bin ajaib, Soekarno-Hatta malah meminta PDRI menyerahkannya mandatnya kepada Soekarno-Hatta, yang dalam status
sebagai TAWANAN pihak Belanda.
![]() |
SM. Kartosuwiryo |
Bagaimana
saat itu, alam pikiran NATSIR dan
SJAFRUDIN yang mau-maunya mengikuti
kehendak SOEKARNO?? Padahal, status
sebagai tawanan, disadari benar oleh SJAHRIR sehingga
ia pada awalnya menolak perintah Soekarno, karena statusnya sebagai TERTAWAN, dan meminta SJAFRUDIN
sebagai Pimpinan PDRI yang
selayaknya menugaskannya berunding
dengan Belanda. Belakangan,
justru SOEKARNO menugaskan
MR.ROEM untuk menjadi wakil RI
Yogyakarta. Bukankah, dirinya dalam status TERTAWAN.? Apakah ini bukan permainan elit nasional Soekarno dengan
BELANDA?
Endingnya
jelas, bahwa aoa yang direncaakan sejak LINGGRAJATI-RENVILLE dan berakhir di
KMB. Keputusannya tidak berubah penyerahakan kedaulatan kepada Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS)! Maka, apa yang
menjadi perjuangan kemerdekaan dan proklamasi 17 Sgustsu 1945, sama sekali
tidak diakui pihak Belanda, dan tidak dsadarinya oleh elit nasional, bahwa sejak
RENVILLE, eksistensi Negara RI Proklamsi 1945 sudah tidak ada lagi.
Yang ada adalah sebuah negara dan
pemerintahan (tetap) bernama INDONESIA berbentuk republik, baik serikat maupun
kesatuan (NKRI), namun semuanya itu
adalah HASIL PERUNDINGAN alias
LEGAL STADINGNYA adalah perjanjian antara pihak Indonesia -Belanda ! Maka,
sejati perjuangan kemerdekaan dengan
revolusi nasional untuk Merdeka 100
Persen itu sudah lama terhenti bagi perjuangan sebuah bangsa Indonesia
dengan romanitisme perjuangan
revolusinya !
BAGIAN II –
TAN MALAKA 100 persen Merdeka !
Tuan rumah
tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya!
Kisah surat HO CHI MINH yang mengkritik Sukarno yang lebih memilih mengerjakan
kembali birokrat didikan Belanda setelah Indonesia merdeka. Tanya "Paman
Ho": Kalau mempekerjakan kembali birokrat didikan Belanda maka negara tuan tidak merdeka sepenuhnya!
Sebagai
jawabannya, Sukarno (dan juga Syahrir)
menyatakan, “ kalau tak mempekerjakan lagi birokrat itu maka Indonesia
kehilangan "mesin negara" alias roda pemerintahan tak bisa bergerak.
Namun,
sebenarnya, soal "merdeka 100 persen" sudah lama menjadi semacama
perdebatan ideologis-politis diantara
elite nasional Indonesia pada
awal kemerdekaan. Bahkan, bisa dirunut
lebih jauh lagi, yakni pada masa pembentukan BPUPKI. Hanya kelompok Islam dan nasionalis yang mau
menjadi BPUPKI. Kelompok sosialis dan komunis memilih tidak ikut di dalamnya
karena menganggap BPUPKI sebagai
"parlemen" bentukan Jepang.
Sikap yang
lebih jelas ditunjukkan Tan Malaka. Dia
menolak keras ide berunding dengan pihak kolonial. Dia ingin perang total dan
menang total melawan kolonial. Alias sama sikapnya dengan Vietnam yang nekat
habis-habisan melawan Amerika Serikat. Alhasil, melalui pertempuran legendaris
Paman Ho bersama Jenderal Vo Vo Nguyen
Giap di Bie Dien Phu berhasil mengusir pergi tentara Amerika Serikat untuk
pulang kampung.
Ada sebuah
kutipan dari Tan Malaka bahwa bangsa ini harus menang perang secara total
dengan cara menolak taktik berunding. Kata-katanya begini: Tuan rumah tak akan berunding dengan maling
yang menjarah rumahnya! Dengan kata lain, perang total adalah pilihan terbaik.
Namun, sikap
Tan Malaka ditolak oleh elite sipil Indonesia kala itu. Mereka menganggap itu
suatu sikap yang ekstrem dan tidak realistis dengan alasan Indonesia kalah
segalanya dari Belanda, baik itu kemampuan personil pasukan, senjata, maupun
dana untuk membiayai perang. Tan Malaka dengan ketus menganggap itu akibat dari
sikap orang yang terlalu lama dididk Belanda. Sayangnya, Tan Malaka kemudian
mati tertembak di daerah Jawa Timur sebelah selatan: kini disebut Desa
Selopanggung, Kediri. ( Red,-MERAHPUTIH )
0 Komentar