KABARMERAHPUTIH,- Birokrasi di Kabupaten Bandung Barat (KBB) kembali menjadi sorotan tajam publik. Kali ini, bukan karena prestasi atau inovasi, melainkan karena adanya keanehan dan aroma maladministrasi yang tercium kuat dalam proses pengisian jabatan kepala dinas. “Sejumlah calon yang sebelumnya mengikuti proses open bidding secara resmi, seperti Wiryawan dan Agnes, mendadak tidak dilantik. Padahal, mereka telah melalui tahapan seleksi yang sah, transparan, dan sesuai aturan.
Lebih aneh lagi, posisi mereka
justru diisi oleh pejabat lain melalui proses rotasi yang diduga sarat
kepentingan politik,” kata Aktivis dan Pemerhati Kebijakan Publik Jabar Agus
satria.
“Proses ini mengundang tanda tanya
besar. Mengapa hasil open bidding yang sudah disahkan tidak digunakan
sebagaimana mestinya? Mengapa para pejabat yang telah dinyatakan lulus hasil
asesmen dan layak justru disingkirkan dari posisi yang seharusnya mereka emban?
Semua kejanggalan ini menunjukkan betapa rapuhnya integritas birokrasi di KBB
saat ini.
Bukannya menjunjung tinggi merit
system dan profesionalisme, birokrasi justru kembali tergelincir dalam jebakan
kepentingan pribadi dan permainan politik sempit,” imbuhnya.
Sumber internal pemerintahan
menyebut, Sekretaris Daerah (Sekda) AZ, yang semestinya menjadi panglima
birokrasi, justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap mekanisme tata kelola
pemerintahan yang baik.
Di bawah kendalinya, keputusan
birokrasi justru melenceng dari prinsip objektivitas dan netralitas Aparatur
Sipil Negara (ASN). Banyak pihak menilai, keputusan ini tidak berdiri sendiri,
melainkan lahir dari intervensi pihak eksternal yang memiliki kepentingan
politis.
“Nama seorang anggota legislatif
berinisial DAM bahkan disebut-sebut berada di balik tekanan terhadap pengisian
jabatan tersebut.
Dugaan yang beredar, DAM berusaha
mengamankan posisi strategis di dinas tertentu sebagai bagian dari upaya
“pengamanan anggaran siluman” yang sedang dibahas dalam ruang-ruang gelap.
Inilah wajah nyata kolusi yang mempermalukan birokrasi daerah ketika kekuasaan
politik menekan kebijakan administratif yang seharusnya independen,” kata Agus.
Agus mengatakan, kabar yang
berkembang menyebutkan, DAM menolak keras figur Wiryawan, yang sebelumnya
digadang-gadang menjadi calon kuat Kepala Dinas DP2KBP3A. Alasan penolakannya
konon karena Wiryawan dianggap “tidak sejalan” dengan kepentingan politik
tertentu setelah dirinya meminta restu kepada pihak-pihak yang berpengaruh di luar
lingkaran kekuasaan KBB, tepatnya kepada tokoh-tokoh di Soreang, Kabupaten
Bandung.
Akibat langkah itu, posisinya
tiba-tiba menjadi rentan dan disingkirkan dalam proses akhir. “Kami para
aktivis dan pemerhati kebijakan publik di KBB menyayangkan keras kejadian ini.
Kami menilai, praktik seperti ini menunjukkan bahwa norma-norma etika birokrasi
telah dilanggar demi kepentingan kelompok kecil yang haus kekuasaan. Politik
dagang sapi masih menjadi modus lama yang digunakan untuk menukar jabatan
dengan loyalitas, bukan kompetensi,” tegas Agus.
Agus mengatakan, salah satu aktivis
senior di Padalarang menyebut bahwa birokrasi seharusnya menjadi rumah
profesionalisme, bukan arena transaksional. Agus menambahkan, menurut aktivis
tersebut, bahwa ketika pengisian jabatan dilakukan berdasarkan tekanan politik,
maka hancurlah semangat reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan.
“Fenomena ini jelas mengguncang
kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Bagaimana mungkin masyarakat
bisa menaruh hormat kepada institusi yang mengabaikan aturan dan meritokrasi?
ASN yang seharusnya dilindungi oleh sistem yang adil kini justru menjadi korban
permainan kotor segelintir elit,” ungkap Agus.
Lebih parah lagi, kata Agus, Sekda
AZ yang seharusnya menjadi benteng terakhir objektivitas birokrasi tampak diam,
bahkan terkesan menjadi bagian dari mekanisme yang cacat ini. Diamnya seorang
panglima birokrasi adalah tanda bahwa sistem telah dikompromikan. Dan ketika
itu terjadi, yang rusak bukan hanya administrasi, tapi juga marwah pemerintahan
itu sendiri.
“Para pendiri KBB yang dulu
memperjuangkan lahirnya kabupaten ini pasti menangis di alam sana. Mereka tidak
akan menyangka bahwa daerah yang mereka dirikan dengan cita-cita luhur kini
dicederai oleh perilaku segelintir orang yang menjadikan jabatan sebagai
komoditas.
Bandung Barat yang seharusnya
menjadi rumah bagi birokrasi yang bersih dan melayani, kini tampak seperti
arena tawar-menawar kepentingan pribadi,” jelasnya. Situasi ini menjadi cermin
betapa lemahnya kepemimpinan di tingkat eksekutif. Bupati Bandung Barat tampak
memilih diam, seolah menutup mata dan telinga terhadap praktik yang jelas-jelas
merusak sistem pemerintahan yang ia pimpin. Padahal, di pundaknya lah tanggung
jawab moral dan politik untuk memastikan setiap kebijakan berjalan sesuai
koridor hukum dan etika publik.
“Bupati harus mengambil sikap tegas.
Pembiaran terhadap maladministrasi seperti ini hanya akan memperburuk citra
daerah dan menurunkan semangat ASN yang bekerja dengan hati. Ketika orang-orang
berkompeten seperti Wiryawan dan Agnes dipinggirkan tanpa alasan rasional, maka
pesan yang tersampaikan kepada ASN lainnya sangat jelas kompetensi tidak lagi
berarti apa-apa. Yang penting hanyalah koneksi dan kesetiaan politik,”
ungkapnya.
Menurut Agus, masih banyak ASN di
KBB yang memenuhi syarat, paham tata birokrasi, dan memiliki integritas tinggi.
Mereka seharusnya diberi ruang untuk mengabdi tanpa harus tunduk pada permainan
kotor politik. Namun bagaimana mungkin mereka bisa berkembang bila sistem rekrutmen
jabatan terus dipelintir? Para aktivis berharap publik tidak diam.
Mereka mengajak masyarakat sipil,
akademisi, dan media untuk mengawal isu ini sampai tuntas. Karena diam terhadap
ketidakadilan sama dengan turut membenarkan kesalahan. KBB tidak boleh
dibiarkan jatuh lebih dalam dalam lumpur kekuasaan yang korosif.
“Kini, harapan terakhir ada di
tangan Bupati. Ia harus menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki otoritas moral
untuk menegakkan aturan dan membersihkan birokrasi dari praktik busuk. Jangan
biarkan jabatan dijadikan alat tawar-menawar. Jangan biarkan loyalitas politik
menyingkirkan integritas,” kata Agus.
Agus menegaskan, jika dibiarkan,
Bandung Barat akan kehilangan arah bukan hanya secara administratif, tapi juga
secara moral. Rakyat tidak butuh pejabat yang pandai bermanuver di ruang gelap,
mereka butuh pemimpin yang berani menegakkan terang di tengah gelapnya
kekuasaan.
“Dan ketika semua norma dilanggar,
hukum diabaikan, dan kepentingan rakyat dikhianati, maka sejarah yang akan
mencatat bahwa keruntuhan birokrasi Bandung Barat bukan karena kurangnya sumber
daya, melainkan karena pengkhianatan moral oleh segelintir orang yang lupa
bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat dagang,” pungkas Agus.
Hasil pantauan Bandungsatu.com
sendiri mendapat salinan surat asesmen terbatas dengan nomor
800.1.14.1/8530/BKPSDM. Asesmen yang diselenggarakan Rabu pagi 24 September
2025 tersebut diselenggarakan di V Hotel and Residence di Jl.Terusan Sutami III
No. 1 Kota Bandung. Mereka yang diudang hadir adalah Inspektur Daerah, Yadi
Azhar. Kemudian Kadis Lingkungan Hidup Ibarahim Aji, Kadis Pemberdayaan
Masayarakat dan Desa Dudi Supriyadi, serta Kadis Perumahan dan Kawasan
Permukiman Anni Roslianti. Udangan tersebut keluar, setelah lima Dinas
dikosongkan untuk di open biddingkan karena terjadi kegaduhan, akhirnya Bupati,
Sekda dan BKSDM menggantinya dengan mengadakan asesmen terbatas tersebut. ( Red,-
Luky )
0 Komentar