Header Ads Widget

SELAMAT DATANG DI WEBSAIT KABAR MERAH PUTIH

Bupati Jeje Ritchie Ismail Jangan Diam Saja, Harus Mengevaluasi Sekda Adanya Carut Marut Birokrasi di KBB.

 


KABARMERAHPUTIH,- Birokrasi di Kabupaten Bandung Barat (KBB) kembali menjadi sorotan tajam publik. Kali ini, bukan karena prestasi atau inovasi, melainkan karena adanya keanehan dan aroma maladministrasi yang tercium kuat dalam proses pengisian jabatan kepala dinas. “Sejumlah calon yang sebelumnya mengikuti proses open bidding secara resmi, seperti Wiryawan dan Agnes, mendadak tidak dilantik. Padahal, mereka telah melalui tahapan seleksi yang sah, transparan, dan sesuai aturan.

Lebih aneh lagi, posisi mereka justru diisi oleh pejabat lain melalui proses rotasi yang diduga sarat kepentingan politik,” kata Aktivis dan Pemerhati Kebijakan Publik Jabar Agus satria.

“Proses ini mengundang tanda tanya besar. Mengapa hasil open bidding yang sudah disahkan tidak digunakan sebagaimana mestinya? Mengapa para pejabat yang telah dinyatakan lulus hasil asesmen dan layak justru disingkirkan dari posisi yang seharusnya mereka emban? Semua kejanggalan ini menunjukkan betapa rapuhnya integritas birokrasi di KBB saat ini.

Bukannya menjunjung tinggi merit system dan profesionalisme, birokrasi justru kembali tergelincir dalam jebakan kepentingan pribadi dan permainan politik sempit,” imbuhnya.

Sumber internal pemerintahan menyebut, Sekretaris Daerah (Sekda) AZ, yang semestinya menjadi panglima birokrasi, justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik.

Di bawah kendalinya, keputusan birokrasi justru melenceng dari prinsip objektivitas dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Banyak pihak menilai, keputusan ini tidak berdiri sendiri, melainkan lahir dari intervensi pihak eksternal yang memiliki kepentingan politis.

“Nama seorang anggota legislatif berinisial DAM bahkan disebut-sebut berada di balik tekanan terhadap pengisian jabatan tersebut.

Dugaan yang beredar, DAM berusaha mengamankan posisi strategis di dinas tertentu sebagai bagian dari upaya “pengamanan anggaran siluman” yang sedang dibahas dalam ruang-ruang gelap. Inilah wajah nyata kolusi yang mempermalukan birokrasi daerah ketika kekuasaan politik menekan kebijakan administratif yang seharusnya independen,” kata Agus.

Agus mengatakan, kabar yang berkembang menyebutkan, DAM menolak keras figur Wiryawan, yang sebelumnya digadang-gadang menjadi calon kuat Kepala Dinas DP2KBP3A. Alasan penolakannya konon karena Wiryawan dianggap “tidak sejalan” dengan kepentingan politik tertentu setelah dirinya meminta restu kepada pihak-pihak yang berpengaruh di luar lingkaran kekuasaan KBB, tepatnya kepada tokoh-tokoh di Soreang, Kabupaten Bandung.

Akibat langkah itu, posisinya tiba-tiba menjadi rentan dan disingkirkan dalam proses akhir. “Kami para aktivis dan pemerhati kebijakan publik di KBB menyayangkan keras kejadian ini. Kami menilai, praktik seperti ini menunjukkan bahwa norma-norma etika birokrasi telah dilanggar demi kepentingan kelompok kecil yang haus kekuasaan. Politik dagang sapi masih menjadi modus lama yang digunakan untuk menukar jabatan dengan loyalitas, bukan kompetensi,” tegas Agus.

Agus mengatakan, salah satu aktivis senior di Padalarang menyebut bahwa birokrasi seharusnya menjadi rumah profesionalisme, bukan arena transaksional. Agus menambahkan, menurut aktivis tersebut, bahwa ketika pengisian jabatan dilakukan berdasarkan tekanan politik, maka hancurlah semangat reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan.

“Fenomena ini jelas mengguncang kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Bagaimana mungkin masyarakat bisa menaruh hormat kepada institusi yang mengabaikan aturan dan meritokrasi? ASN yang seharusnya dilindungi oleh sistem yang adil kini justru menjadi korban permainan kotor segelintir elit,” ungkap Agus.

Lebih parah lagi, kata Agus, Sekda AZ yang seharusnya menjadi benteng terakhir objektivitas birokrasi tampak diam, bahkan terkesan menjadi bagian dari mekanisme yang cacat ini. Diamnya seorang panglima birokrasi adalah tanda bahwa sistem telah dikompromikan. Dan ketika itu terjadi, yang rusak bukan hanya administrasi, tapi juga marwah pemerintahan itu sendiri.

“Para pendiri KBB yang dulu memperjuangkan lahirnya kabupaten ini pasti menangis di alam sana. Mereka tidak akan menyangka bahwa daerah yang mereka dirikan dengan cita-cita luhur kini dicederai oleh perilaku segelintir orang yang menjadikan jabatan sebagai komoditas.

Bandung Barat yang seharusnya menjadi rumah bagi birokrasi yang bersih dan melayani, kini tampak seperti arena tawar-menawar kepentingan pribadi,” jelasnya. Situasi ini menjadi cermin betapa lemahnya kepemimpinan di tingkat eksekutif. Bupati Bandung Barat tampak memilih diam, seolah menutup mata dan telinga terhadap praktik yang jelas-jelas merusak sistem pemerintahan yang ia pimpin. Padahal, di pundaknya lah tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan setiap kebijakan berjalan sesuai koridor hukum dan etika publik.

“Bupati harus mengambil sikap tegas. Pembiaran terhadap maladministrasi seperti ini hanya akan memperburuk citra daerah dan menurunkan semangat ASN yang bekerja dengan hati. Ketika orang-orang berkompeten seperti Wiryawan dan Agnes dipinggirkan tanpa alasan rasional, maka pesan yang tersampaikan kepada ASN lainnya sangat jelas kompetensi tidak lagi berarti apa-apa. Yang penting hanyalah koneksi dan kesetiaan politik,” ungkapnya.



Menurut Agus, masih banyak ASN di KBB yang memenuhi syarat, paham tata birokrasi, dan memiliki integritas tinggi. Mereka seharusnya diberi ruang untuk mengabdi tanpa harus tunduk pada permainan kotor politik. Namun bagaimana mungkin mereka bisa berkembang bila sistem rekrutmen jabatan terus dipelintir? Para aktivis berharap publik tidak diam.

Mereka mengajak masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk mengawal isu ini sampai tuntas. Karena diam terhadap ketidakadilan sama dengan turut membenarkan kesalahan. KBB tidak boleh dibiarkan jatuh lebih dalam dalam lumpur kekuasaan yang korosif.

“Kini, harapan terakhir ada di tangan Bupati. Ia harus menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki otoritas moral untuk menegakkan aturan dan membersihkan birokrasi dari praktik busuk. Jangan biarkan jabatan dijadikan alat tawar-menawar. Jangan biarkan loyalitas politik menyingkirkan integritas,” kata Agus.

Agus menegaskan, jika dibiarkan, Bandung Barat akan kehilangan arah bukan hanya secara administratif, tapi juga secara moral. Rakyat tidak butuh pejabat yang pandai bermanuver di ruang gelap, mereka butuh pemimpin yang berani menegakkan terang di tengah gelapnya kekuasaan.

“Dan ketika semua norma dilanggar, hukum diabaikan, dan kepentingan rakyat dikhianati, maka sejarah yang akan mencatat bahwa keruntuhan birokrasi Bandung Barat bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena pengkhianatan moral oleh segelintir orang yang lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat dagang,” pungkas Agus.

Hasil pantauan Bandungsatu.com sendiri mendapat salinan surat asesmen terbatas dengan nomor 800.1.14.1/8530/BKPSDM. Asesmen yang diselenggarakan Rabu pagi 24 September 2025 tersebut diselenggarakan di V Hotel and Residence di Jl.Terusan Sutami III No. 1 Kota Bandung. Mereka yang diudang hadir adalah Inspektur Daerah, Yadi Azhar. Kemudian Kadis Lingkungan Hidup Ibarahim Aji, Kadis Pemberdayaan Masayarakat dan Desa Dudi Supriyadi, serta Kadis Perumahan dan Kawasan Permukiman Anni Roslianti. Udangan tersebut keluar, setelah lima Dinas dikosongkan untuk di open biddingkan karena terjadi kegaduhan, akhirnya Bupati, Sekda dan BKSDM menggantinya dengan mengadakan asesmen terbatas tersebut. ( Red,- Luky )

Posting Komentar

0 Komentar