Header Ads Widget

SELAMAT DATANG DI WEBSAIT KABAR MERAH PUTIH

Kritik Keras Menggema: Politik Transaksional Hingga Kebijakan "Melarang Tanpa Solusi" Ancam Krisis Nasional

R.Joker, Ketua Umum PMPRI


KABARMERAHPUTIH,-- Kebijakan pemerintah pusat dan praktik tata kelola birokrasi di Indonesia menuai sorotan tajam dari kalangan pengamat. Dua isu utama, yakni pelarangan incinerator oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan buruknya penerapan merit system dalam birokrasi, dinilai sebagai cerminan masalah struktural yang berpotensi memicu krisis mulai dari lingkungan hingga tata kelola negara.

Darurat Sampah: Kebijakan 'Melarang' KLH Dinilai Sia-sia:

Keputusan KLH yang melarang total penggunaan teknologi incinerator sebagai opsi pengelolaan sampah dikritik keras karena dianggap tidak dibarengi dengan solusi yang efektif.

Menurut Ketua Umum DPP LSM PMPR Indonesia, yang selamat ini turut mengamati kebijakan publik, Rohimat yang dikenal sebagai 'Kang Joker' kebijakan ini hanya melimpahkan beban ke pemerintah daerah, seperti yang dialami Kota Bandung, yang batal membeli incinerator tanpa adanya rekomendasi teknologi alternatif.

"Kebijakan 'melarang' tanpa menawarkan jalan keluar yang jelas hanya akan meninggalkan beban. Metode angkut-buang ke TPA sudah tidak efektif, sementara produksi sampah harian mencapai ribuan ton," tegas Rohimat. "Pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban melalui bau, pencemaran, hingga potensi bencana lingkungan."

Rohimat mendesak agar KLH mengubah peran, dari sekadar regulator yang memberi larangan, menjadi fasilitator solusi, dengan membuka ruang bagi pengembangan incinerator modern berbasis waste-to-energy atau teknologi ramah lingkungan lainnya.

Birokrasi Terkunci Utang Politik Transaksional

Kritik Ketum PMPRI juga meluas ke tata kelola pemerintahan. Ia menyoroti kegagalan penerapan merit system yang seharusnya menjamin profesionalisme aparatur negara. Merit system dinilai hanya menjadi formalitas demi mengakomodasi kepentingan politik transaksional.

Dalam penentuan jabatan strategis, pertimbangan kinerja seringkali dikalahkan oleh kalkulasi politik dan loyalitas. Hal ini, menurut Rohimat, menciptakan lingkaran setan birokrasi berutang.

"Pejabat yang duduk di kursi strategis kerap 'berutang politik' pada pihak yang mendukungnya. Utang ini dibayar dengan cara paling mudah: mengembalikan modal melalui proyek pemerintah," jelasnya.

Dampak dari politik transaksional ini pun sangat nyata di lapangan: anggaran negara berubah menjadi instrumen imbalan politik, sementara proyek-proyek dikerjakan dengan kualitas di bawah standar.

"Kondisi ini merusak tatanan birokrasi dan melemahkan kepercayaan publik. Aparatur yang berintegritas terpinggirkan, sementara yang 'terpilih' bukan karena prestasi, melainkan karena koneksi," pungkas Rohimat, menekankan bahwa reformasi birokrasi harus benar-benar ditegakkan agar bangsa tidak berjalan di tempat.( Red,- Luky )

Posting Komentar

0 Komentar