Header Ads Widget

SELAMAT DATANG DI WEBSAIT KABAR MERAH PUTIH

Tragedi 7 Kata Yang Dihapus Antara SYARIAT ISLAM dan Ketuhanan Yang Maha Esa Konstitusionalisme atas nama TUHAN di Indonesia - Ingatan Kolektif 22 Juni 1945 ( Oleh. Nunu A Hamijaya – Sejarawan Publik )


KABARMERAHPUTIH,--Masih  adakah generasi 60-80 an yang ingat tentang apa itu PIAGAM JAKARTA? Apalagi generasi Millenial Indonesia! Tak ada sedikitpun ingatan tentang hal tersebut, karena memang tidak pernah disampaikan.   Ingatan kolektif tentang  tragedi 7 Kata yang Dihapus  ini sudah in-crach  secara konstitusional pada  sidang MPR/DPR RI Tahun 2000. Tidak akan lagi dibuka-buka, apalagi diperingatinya ! Sudah final. Barangsiapa yang masih NGEYEL mempersoalkan apalagi memperjuangkannya disebut esktrim kanan, fundamentalis,neo-Masyoemi. Bisa-bisa kena delik KUHP dan UU Subversif. Fakta ironisnya,   tidak ada satu parpol pun termasuk yang beridentitaskan ISLAM, yang mau membicarakannya atau sekedar bicara di warkop atau café-café anggota DPR. Setelah  dikunci dengan  ASTUNG-PANCASILA (Era Orde Baru), di era Reformasi, stigmanya lain lagi lebih seram dan kejam !Namun, sebagai tanggungjawab sejarah, wajib saya mengingatkan tentang TRAGEDI tersebut. Mau dibaca atau tidak terserah!  Kita mulai sedikit ke 100 tahuh yang lalu …

BAGIAN PERTAMA

Zelfbestuur  dan Nasional : Sarekat Islam, PSII,dan Kongres Tjisajong

Sejak  Awal Abad XX, umat islam  atau pribumi muslim  di Hindia Belanda sudah menyatakan ‘kehendaknya untuk berpemerintahan sendiri’  (Zelfbestuur, Pidato TJOKROMINOTO, dalam NATICO  I Central Sarekat Islam , 17 – 24 Juni 1916 di Bandung). Kehendak politik  tersebut adalah titiknol kehendak me-NEGARA-kan Islam bukan meng-ISLAM-kan negara ! Ini dua frasa yang berbeda pengertiannya! 

Selain itu,  Istilah ‘nasional’ pertamakali adalah milik umat islam, khususnya Sarekat Islam,yang  merupakan satu-satunya  partai politik islam pertama di Hindia Belanda (berawal dari SAREKAT  DAGANG ISLAM, 1905, bukan SAREKAT DAGANG ISLAMIYAH, 1909 di Bogor). Kata  ‘nasional  ‘ ini bukan  sebuah ‘isme’ menjadi  NASIONALISME  (Kebangsaan)   sebagaimana  yang terjadi di Barat sejak Abad ke-18 sebagai  alat  memecah-belah  kekuatan Dunia Islam menjadi terpisah-pisah atas dasar  negara-bangsa (nation-state-nya), di Eropa, seperti   Perancis dan Belanda,atau Portugis.  Mereka melakukan perjanjian rahasia Inggris -Perancis, yang disebut SYKES-PYCOT, pada sekitar Mei 1916.

Seiring  dengan   perjalanan  sejarahnya,  ‘kehendak   berpemerintahan  sendiri’   ini  kemudian   menjadi cita-cita elit  pribumi Hindia Belanda yang terdidik di Belanda. Diantaranya   adalah  Tan  Malaka dan  M. Hatta. Hal  ini dilakukannya sejak  1912 oleh Tiga  Serangkai   mendirikan Indiche Partey, (IP)  di Bandung  dan  menemukan  momentumnya  dengan  adanya   Manifesto   Politik  1925. Sementara itu, di bumi  Hindia Belanda, perjuangan pun dilakukan  Soekarno dan Sutan  Sjahrir. Keduanya, bersama-sama dengan Hatta menjadi trio-epicentrum pergerakan kemerdekaan kebangsaan dan pemerintahan.Mereka  mengusung  konsep negara-bangsa ala trias polica  Montescue.

Sementara itu,   kalangan  Pan Islamisme di Hindia Belanda bergerak lewat jalurnya sendiri melanjutkan konsepsi  zelfbestuur-nya TJOKROAMINOTO (1916). Melalui PSII, disusunlah suatu  platform perjuangan (ASAS DAN TANDHIM) hingga berhasil  memutuskan SIKAP HIJRAH (1936). Sayangnya, PSII  tidak  istiqomah untuk   melanjutkan Sikap Hijrah nya bahkan membatalkannya.Meskipun demikian, sikap hijrah itu tetap dilanjutkan oleh SM. Kartosuworjo  lewat cara dan lembaga lain yang memungkinkan.

Apa yang dirintis oleh H O.S. Tjokroaminoto adalah upaya me-NEGARA-kan Islam yaitu agar Islam dijalankan dalam proses dakwah dan jihadnya hingga nantinya rekonstruksikan  menjadi kelembagaan negara dengan  perangkat-perangkatnya.Namun,OS Tjokroaminoto  lebih dahulu wafat sebelum sampai pada pelembagaan  Islam Bernegara. Maka, sebagai Vice Presiden Dewan Pusat PSII, SM Kartosuwirjo   melanjutkannya  dengan menyusun konsep  Sikap Hidjrah  dan  Daftar Usaha Hijrah yang disampaikan dalam MT ke-22  (1936).

Mengingat PSII menolak dan menarik ludahnya kembali, maka proses pelembagaan pun  menjadi tanggungjawan SM Kartosuwirjo ,  sehingga  sikap  hijrah ke dalam sistem bernegara ala Madinah baru dapat  direalisasikan  saat  Proklamasi NII pada 7 Agustus 1949. Hal  ini terlebih dahulu melewati  proses Kongres Tjisajong (Feb 1948) dan beberapa kongres lanjutannya   di Priangan Timur, berkumpulnya para ulama dan tokoh Masjoemi,GPII,dan  dari  kalangan pesantren yang  melahirkan 7 Road Map Tjisajong. 

Episode Kedua : Perjuangan  Kebangsaan  vs Islam di Indonesia “Kita harus mencintai bangsa sendiri dengan mempersatukan mereka dengan kekuatan ajaran Islam…”  ( OS.  Tjokroaminoto,  Pidato Zelfbestuur, 18  Juni 1916) Demikian, keyakinan yang ditanamkan dalam perjuangan kemerdekaan  berpemerintahan sendiri oleh Sarekat Islam sejak 1916. Keyakinan ini tumbuh-subur dikalangan elit pemimpin muslim dan menemukan momentumnya saat Jepang  menduduki  Hindia Belanda  (1942-1945).

Atas inisitiatif  Jepang,  Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk   pada 29 April 1945. BPUPKI bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Sebelumnya, Jepang lebih  memilih  elit  nasional  sekuler SOEKARNO-HATTA-RADJIMAN    bertemu  Kaisar Hirohito dan PM Todjo (Maret 1945), dan  terakhir dengan   HISAICHI TERAUCHI.

BPUPKI melakukan sidang sebanyak dua kali, yakni pada 29 Mei 1945-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Sidang pertama BPUPKI berlangsung di Gedung Chuo Sangi In, Jalan Pejambon 6, Jakarta. Gedung Chuo Sangi In sekarang menjadi Gedung Pancasila. Dalam sidang pertama BPUPKI yang dimulai pada 29 Mei 1945 dan berakhir pada 1 Juni 1945, dibahas perumusan Dasar Negara Indonesia.

Nunu A. Hamijaya. Sejarawan Publik

Syariat  Islam  bukan  Tanggungjawab  Negara

Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia. Awalnya direncanakan dibacakan secara resmi sebagai wujud deklarasi kemerdekaan Indonesia. Karena lain hal, itu tidak terjadi, malahan diganti dengan Proklamasi.

Piagam itu merupakan kristalisasi pemikiran para pendiri bangsa yang bersifat kumulatif dirumuskan oleh sembilan orang. Merupakan akumulasi dari pergerakan pemikiran yang menuntun hadirnya negara merdeka yang lepas dari kolonialisme dengan bentuk pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Hampir semua spektrum organisasi pergerakan di Indonesia menuntut diwujudkannya kemerdekaan bagi Indonesia.

Namun, hanya dalam hitungan menit, hasil sidang BPUPKI selama sebulan   itu kandas dengan dihapuskannya 7 Kata, yaitu kurang dua bulan setelah itu, satu hari setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, redaksi pada preambul, “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya,” dihapuskan  menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Teks lengkap sebelumnya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Inti    konsekuensi   dengan  dihapuskannya 7 Kata dalam Pembukaan dan UUD1945 yang  disahkan 18 Austsu 1945 itu bahwa negara RI  tidak mempunyai  kewajiban   konstitusional  untuk  melaksanakan syariat Islam sebagai  pedoman kehidupan  bernegara dan berbangsa bagi umat islam bangsa Indonesia. Sebagai  konpensasinya, maka dibentuklah  KEMENTERIAN  AGAMA, yang sejatinya sudah  ada sejak zaman Hindia Belanda sebagai gagasan  TN. SNOUCK HORGRONYE untuk  mengawasi dan mengendalikan pergerakan politik  umat Islam.

Dengan demikian, memperjuangkan tegak dan berlakunya  Syariat   Islam sesungguhnya tidak  memiliki  landasan konstitusional   lagi sejak    Pembukaan dan  UUD  1945 disahkan. Hal ini tentu  membuat kecewa para elit pimpinan muslim  nasional, yang diwakili   oleh partai   politik Islam Masyoemi.  Tokoh-tokoh tersebut yang dimotori M.NATSIR  dengan gigih dan gagah  memperjuangkannya dalam koridor   parlementer  hingga berakhir kandas dalam sidang Konstitituante 1959 yang   deadlock, hingga  terjadinya Dekrit  Presiden  5 Juli 1959.  Dalam butir-butir Dekrit  tersebut masih disisakan  klausal, bahwa UUD 1945 dijiwai oleh Piagam Jakarta!  Yang  ada kenyataannya, jauh  ‘panggang dari api’   bahkan Soekarno  melecengkannya menjadi konsep NASAKOM.

BAGIAN KEDUA

Ketuhanan Yang Maha Esa :  Konstitusionalisme  atasnama TUHAN di Indonesia Frasa  TUHAN    pertamakali  muncul   secara konstitusional dalam   satu alinea  pada Pembukaan UUD 1945.  Yang   Kemudian dikuatkan dalam UUD 1945, pada tgl 18 Agustus 1945 dalam  Pasal 29 ayat 1  yang menyatakan “NEGARA berdasarkan atas  KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Berikutnya, dalam    Pembukaan UUD 1950, kata TUHAN muncul sehingga terbentuk  frasa baru  ATAS BERKAT RAHMAT TUHAN yang dipakai hingga sekarang dalam PRASASTI setiap peresmian pembangunan suatu proyek pemerintah dengan ada tanda tangan pejabat dari mulai Walikota/Bupati hingga  Presiden. 

Maka, sudah menjadi keputusan pemerintah yang dikuatkan dengan UU, bahwa frasa RAHMAT TUHAN, atau TUHAN YANG MAHA ESA menjadi frasa yang memiliki kekuatan hukum  mengikat sehingga wajib digunakan  sesuai  peraturan. Inilah yang disebut sebagai KETUHANAN sebagai kebudayaan. Hal ini sesuai dengan usulan awal dari sila-sila   Pancasila versi Ir. Soekarno  yang menyatakan ‘KETUHANAN yang BERKEBUDAYAAN.

Adapun dalam PREAMBUL MUKADIMAH UUD 1945, yang disebut sebagai PIAGAM JAKARTA, frasa yang  digunakannya  adalah  atas berkat rahmat alloh yang MAHA KUASA. Yang diganti dalam Pembukaan UUD 1945 dalam  Berita Negara  1946  menjadi  berkat “RAHMAT TUHAN yang maha kuasa”

 Apakah frasa TUHAN dan KETUHANAN YANG MAHA ESA, dan RAHMAT TUHAN adalah   dimaksudkan  dengan keyakinan TAUHID-nya dalam ajaran ISLAM,sebagaimana diasumsikan banyak orang, termasuk para ulama,cendekiawan di Indonesia?

Inilah akar (RADIX)-nya persoalan yang tak pernah dikaji secara keilmuan  berdasarkan rujukan al Quran dan al  Hadist serta ijma/ijtihad ulama, dan hanya    cukup diselesaikan dalam level consensus   politik yang tentunya penuh dengan kepentingan-kepentingan pragmatis. Oleh seorang Noercholis Madjid, ditafsirkan sebagai ‘KALIMATUN SAWA’,nya  umat beragama di Indonesia, antara Islam dan agama-agama lainnya. Pandangannya yang kian  menimbulkan  kegaduhan  dan kerancuan intelektual semakin dalam ke dasar jurang kesesatan  pemikiran akidah dikalangan  bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.

Frasa TUHAN jelas  bukan istilah baku dalam al Quran-Hadits dan Ijma. Dari sini saja sudah tertolak, apalagi  jika    frasa  ini dipaksakan digunakan dalam  komunikasi  internal umat islam  dan  eksternal umat islam untuk menjelaskan suatu DZAT yang jelas-jelas tegas terang  benderang dalam al Quran disebut ALLOH. Apakah sebagai muslim akan tetap   berdiam diri saja  dengan hal yang secara prinsip  bertentangan dengan  aqidah-tauhid ?

Asal  usul kata TUHAN merupakan  pengaruh agama  Kristen, yang menyerap kata TUAN dari   bahasa Melayu, menjadi TUHAN untuk menyebut entitas  yang ghaib,dalam terjemahan AL  KITAB ke dalam bahasa Melayu oleh PDT. DR. MELCHIOR LEIJDECKER    yang terbit tahun1733. Adapun kata TUHAN sendiri berasal   dari Sankrit, yaitu TUH  HYANG  yang berarit roh atau dewa yang memilii status tertinggi di kahyangan.

Menjelang akhir abad ke-17, Majelis Gereja Batavia merencanakan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Tinggi, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam tulisan-tulisan Melayu.

Pdt. Dr. Melchior Leijdecker Pada tahun 1675 Pdt. Leijdecker ditugaskan ke Hindia Belanda, sebagai pendeta pelayanan tentara di Jawa Timur. Ia  meneliti naskah-naskah Alkitab dalam bahasa-bahasa aslinya dan dengan tekun mencari padanan kata dan istilah dalam bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab.

Setelah Pdt. Valentyn meninggal dunia pada tahun 1727, naskah terjemahan Pdt. Leijdecker diteliti kembali oleh Pdt. Pieter van der Vorm beserta timnya. Terjemahan itu dibandingkan dengan naskah bahasa-bahasa asli Alkitab dengan terjemahan Alkitab dalam bahasa Arab, Aram (Siria), Latin, Inggris, Jerman, Perancis, dan Spanyol. Kemudian diterbitkanlah Perjanjian Baru pada tahun 1731 dan Alkitab lengkap pada tahun 1733. Terjemahan Leijdecker nantinya dipakai di kawasan Indonesia dan di Semenanjung Malaka selama hampir dua abad.

Kita saksikan, bahwa  frasa TUHAN ini digunakan secara  resmi oleh negara untuk menyebut nama DZAT yang diyakini negara sebagai  mewakili  untuk sebuah entitas maha ghaib. Keputusan ini saja merupakan  bentuk  dari sebuah ‘keyakinan atau kepercayaan baru’ yang berarti negara memiliki  agama resmi-kenegaraannya sendiri, tanpa menyebut apa nama agamanya tersebut, tetapi  yang mendekati nama agamanya adalah PANCASILA.

Hal ini sejalan dengan berbagai pernyataan dan pengakuan pejabat tinggi  tentang PANCASILA sebagai ideologi negara.Bahwa “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, tetapi  Negara Pancasila, yang berketuhanan yang Maha Esa” Ini adalah ungkapan dan pernyataan resmi pemerintahan terhadap siapapun yang bertanya tentang Indonesia dalam kaitannya dengan keyakinan dan ideologi.

Apakah frasa KETUHANAN YANG MAHA ESA’ secara sosio-linguisitk berarti TAUHID menurut umat Islam? Banyak yang keliru salah, antara kata ESA dan EKA itu sama artinya, padahal   jelas secara fonemik beda S dan K. menghasilkan makna yang berbeda. ESA dalam Bahasa Sanskrit   berarti ‘SESUATU KEBERADAAN YANG MUTLAK’. Asal katanya ETAD artinya dalam Bahasa Inggris  ‘as this’, ‘as it is’ or ‘the,’yaitu  suatu  SIFAT   KEKUASAAN.

Berbeda dengan kata EKA, yang artinya SATU sebagai berbilang, ada dua, tiga dan seterusnya. Adapun ESA, dimaknai  sebagai The Only One yang dirujukan dengan sesuatu yang mutlak adanya. Esa selalu berkaitan dengan TUHAN,sehingga TUHAN YANG ESA bukan TUHAN YANG EKA.

Dengan demikian  , KETUHANAN itu artinya merujuk kepada ‘hal yang menyangkut sifat-sifat  TUHAN,  bukan TUHAN sendiri,sehingga keliru menyimpulan bahwa KETUHANAN YANG MAHA ESA itu berarti tentang TUHAN YANG ESA.

Pertanyaanya, siapa yang dimaksud engan TUHAN YANG ESA?

Menurut UUD/UU tidak ada penjelasannya tentang siapa nama TUHAN YANG ESA itu? Jika, ditanyakan kepada keyakinan KRISTIANI, apakah itu berarti TRINITAS? Atau salahsatu darinya? Jika ditanyakan kepada HINDU, apakah itu berarti Dewa-dewa tertinggi mereka,seperti SYIWA,BRAHMANA? Atau jika ditanyakan kepada orang-orang HINDU , itu berarti HYANG WIDI ?  Jika ditanyakan kepada MUSLIM, apakah itu berarti ALLOH ?

Namun, menurut  UUD atau UU, bahwa yang dimaksud dengan TUHAN YANG ESA itu nama entitasnya DZATNYA  adalah TUHAN.  Maka, Negara (RI)  memiliki nama baku sendiri untuk menyebut Dzat yang ghaib itu bernama TUHAN. Inilah nama tuhannya negara yang digunakan oleh para  pejabatnya.  Adapun agamanya  bernama PANCASILA.  Tidak ada yang lain.

Para pejabat negara   itu     sekalipun  mengaku  beragama ISLAM  tetapi dalam konteks kehidupan bernegaranya  menggunakan kata sebutan   TUHAN  YANG  (MAHA) ESA?  Adapun  MAHA, itu arti sebenarnya adalah  MULIA, sangat, amat, teramat, tak tertandingi; besar,  yaitu   tentang superlative yang berarti   ‘status tertinggi dari sebuah entitas’.Misalnya, SISWA jadi MAHASISWA, artinya diatas level SISWA,MAHAGURU, artinya GURUBESAR, diatas level kemuliaan seorang guru. Sebuah kerancuan pemahaman linguistik yang tak pernah merasa perlu dikontruksi   kembali dengan benar karena sudah  menjadi doktrin, AKSIOMA- DOGMA dan PARADOGMA diatas ilmu dan sains serta filsafat dan logika. - Jatinangor 21, 22 Juni  2023 -( Red,- Kaboa )

Posting Komentar

0 Komentar