BAGIAN PERTAMA
Zelfbestuur dan Nasional : Sarekat Islam, PSII,dan
Kongres Tjisajong
Sejak Awal Abad
XX, umat islam atau pribumi muslim di Hindia Belanda sudah menyatakan
‘kehendaknya untuk berpemerintahan sendiri’
(Zelfbestuur, Pidato TJOKROMINOTO, dalam NATICO I Central Sarekat Islam , 17 – 24 Juni 1916
di Bandung). Kehendak politik tersebut
adalah titiknol kehendak me-NEGARA-kan Islam bukan meng-ISLAM-kan negara ! Ini
dua frasa yang berbeda pengertiannya!
Selain itu,
Istilah ‘nasional’ pertamakali adalah milik umat islam, khususnya
Sarekat Islam,yang merupakan
satu-satunya partai politik islam
pertama di Hindia Belanda (berawal dari SAREKAT
DAGANG ISLAM, 1905, bukan SAREKAT DAGANG ISLAMIYAH, 1909 di Bogor).
Kata ‘nasional ‘ ini bukan
sebuah ‘isme’ menjadi
NASIONALISME (Kebangsaan) sebagaimana
yang terjadi di Barat sejak Abad ke-18 sebagai alat
memecah-belah kekuatan Dunia
Islam menjadi terpisah-pisah atas dasar
negara-bangsa (nation-state-nya), di Eropa, seperti Perancis dan Belanda,atau Portugis. Mereka melakukan perjanjian rahasia Inggris
-Perancis, yang disebut SYKES-PYCOT, pada sekitar Mei 1916.
Seiring
dengan perjalanan sejarahnya,
‘kehendak berpemerintahan sendiri’
ini kemudian menjadi cita-cita elit pribumi Hindia Belanda yang terdidik di
Belanda. Diantaranya adalah Tan
Malaka dan M. Hatta. Hal ini dilakukannya sejak 1912 oleh Tiga Serangkai
mendirikan Indiche Partey, (IP)
di Bandung dan menemukan
momentumnya dengan adanya
Manifesto Politik 1925. Sementara itu, di bumi Hindia Belanda, perjuangan pun dilakukan Soekarno dan Sutan Sjahrir. Keduanya, bersama-sama dengan Hatta
menjadi trio-epicentrum pergerakan kemerdekaan kebangsaan dan pemerintahan.Mereka mengusung
konsep negara-bangsa ala trias polica
Montescue.
Sementara itu,
kalangan Pan Islamisme di Hindia
Belanda bergerak lewat jalurnya sendiri melanjutkan konsepsi zelfbestuur-nya TJOKROAMINOTO (1916). Melalui
PSII, disusunlah suatu platform
perjuangan (ASAS DAN TANDHIM) hingga berhasil
memutuskan SIKAP HIJRAH (1936). Sayangnya, PSII tidak
istiqomah untuk melanjutkan
Sikap Hijrah nya bahkan membatalkannya.Meskipun demikian, sikap hijrah itu
tetap dilanjutkan oleh SM. Kartosuworjo
lewat cara dan lembaga lain yang memungkinkan.
Apa yang dirintis oleh H O.S. Tjokroaminoto adalah
upaya me-NEGARA-kan Islam yaitu agar Islam dijalankan dalam proses dakwah dan
jihadnya hingga nantinya rekonstruksikan
menjadi kelembagaan negara dengan
perangkat-perangkatnya.Namun,OS Tjokroaminoto lebih dahulu wafat sebelum sampai pada
pelembagaan Islam Bernegara. Maka,
sebagai Vice Presiden Dewan Pusat PSII, SM Kartosuwirjo melanjutkannya dengan menyusun konsep Sikap Hidjrah
dan Daftar Usaha Hijrah yang
disampaikan dalam MT ke-22 (1936).
Mengingat PSII menolak dan menarik ludahnya kembali, maka proses pelembagaan pun menjadi tanggungjawan SM Kartosuwirjo , sehingga sikap hijrah ke dalam sistem bernegara ala Madinah baru dapat direalisasikan saat Proklamasi NII pada 7 Agustus 1949. Hal ini terlebih dahulu melewati proses Kongres Tjisajong (Feb 1948) dan beberapa kongres lanjutannya di Priangan Timur, berkumpulnya para ulama dan tokoh Masjoemi,GPII,dan dari kalangan pesantren yang melahirkan 7 Road Map Tjisajong.
Episode Kedua
: Perjuangan Kebangsaan vs Islam di Indonesia “Kita harus mencintai
bangsa sendiri dengan mempersatukan mereka dengan kekuatan ajaran Islam…” ( OS.
Tjokroaminoto, Pidato
Zelfbestuur, 18 Juni 1916) Demikian,
keyakinan yang ditanamkan dalam perjuangan kemerdekaan berpemerintahan sendiri oleh Sarekat Islam
sejak 1916. Keyakinan ini tumbuh-subur dikalangan elit pemimpin muslim dan
menemukan momentumnya saat Jepang
menduduki Hindia Belanda (1942-1945).
Atas inisitiatif
Jepang, Dokuritsu Junbi Cosakai
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk pada 29 April 1945. BPUPKI bertepatan dengan
hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Sebelumnya, Jepang lebih memilih
elit nasional sekuler SOEKARNO-HATTA-RADJIMAN bertemu
Kaisar Hirohito dan PM Todjo (Maret 1945), dan terakhir dengan HISAICHI TERAUCHI.
BPUPKI melakukan sidang sebanyak dua kali, yakni pada
29 Mei 1945-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Sidang pertama BPUPKI berlangsung
di Gedung Chuo Sangi In, Jalan Pejambon 6, Jakarta. Gedung Chuo Sangi In
sekarang menjadi Gedung Pancasila. Dalam sidang pertama BPUPKI yang dimulai
pada 29 Mei 1945 dan berakhir pada 1 Juni 1945, dibahas perumusan Dasar Negara
Indonesia.
![]() |
Nunu A. Hamijaya. Sejarawan Publik |
Syariat Islam bukan Tanggungjawab Negara
Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi
kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan
eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia. Awalnya
direncanakan dibacakan secara resmi sebagai wujud deklarasi kemerdekaan
Indonesia. Karena lain hal, itu tidak terjadi, malahan diganti dengan
Proklamasi.
Piagam itu merupakan kristalisasi pemikiran para
pendiri bangsa yang bersifat kumulatif dirumuskan oleh sembilan orang.
Merupakan akumulasi dari pergerakan pemikiran yang menuntun hadirnya negara
merdeka yang lepas dari kolonialisme dengan bentuk pemerintahan sendiri
(zelfbestuur). Hampir semua spektrum organisasi pergerakan di Indonesia
menuntut diwujudkannya kemerdekaan bagi Indonesia.
Namun, hanya dalam hitungan menit, hasil sidang BPUPKI
selama sebulan itu kandas dengan
dihapuskannya 7 Kata, yaitu kurang dua bulan setelah itu, satu hari setelah
Proklamasi, 18 Agustus 1945, redaksi pada preambul, “…dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya,” dihapuskan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Teks lengkap
sebelumnya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Inti
konsekuensi dengan dihapuskannya 7 Kata dalam Pembukaan dan
UUD1945 yang disahkan 18 Austsu 1945 itu
bahwa negara RI tidak mempunyai kewajiban
konstitusional untuk
melaksanakan syariat Islam sebagai
pedoman kehidupan bernegara dan
berbangsa bagi umat islam bangsa Indonesia. Sebagai konpensasinya, maka dibentuklah KEMENTERIAN
AGAMA, yang sejatinya sudah ada
sejak zaman Hindia Belanda sebagai gagasan
TN. SNOUCK HORGRONYE untuk
mengawasi dan mengendalikan pergerakan politik umat Islam.
Dengan demikian, memperjuangkan tegak dan
berlakunya Syariat Islam sesungguhnya tidak memiliki
landasan konstitusional lagi
sejak Pembukaan dan UUD
1945 disahkan. Hal ini tentu
membuat kecewa para elit pimpinan muslim
nasional, yang diwakili oleh
partai politik Islam Masyoemi. Tokoh-tokoh tersebut yang dimotori
M.NATSIR dengan gigih dan gagah memperjuangkannya dalam koridor parlementer
hingga berakhir kandas dalam sidang Konstitituante 1959 yang deadlock, hingga terjadinya Dekrit Presiden
5 Juli 1959. Dalam butir-butir
Dekrit tersebut masih disisakan klausal, bahwa UUD 1945 dijiwai oleh Piagam
Jakarta! Yang ada kenyataannya, jauh ‘panggang dari api’ bahkan Soekarno melecengkannya menjadi konsep NASAKOM.
BAGIAN KEDUA
Ketuhanan Yang Maha Esa : Konstitusionalisme atasnama TUHAN di Indonesia Frasa TUHAN pertamakali muncul secara konstitusional dalam satu alinea pada Pembukaan UUD 1945. Yang Kemudian dikuatkan dalam UUD 1945, pada tgl 18 Agustus 1945 dalam Pasal 29 ayat 1 yang menyatakan “NEGARA berdasarkan atas KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Berikutnya, dalam Pembukaan UUD 1950, kata TUHAN muncul sehingga terbentuk frasa baru ATAS BERKAT RAHMAT TUHAN yang dipakai hingga sekarang dalam PRASASTI setiap peresmian pembangunan suatu proyek pemerintah dengan ada tanda tangan pejabat dari mulai Walikota/Bupati hingga Presiden.
Maka, sudah menjadi keputusan pemerintah yang
dikuatkan dengan UU, bahwa frasa RAHMAT TUHAN, atau TUHAN YANG MAHA ESA menjadi
frasa yang memiliki kekuatan hukum
mengikat sehingga wajib digunakan
sesuai peraturan. Inilah yang
disebut sebagai KETUHANAN sebagai kebudayaan. Hal ini sesuai dengan usulan awal
dari sila-sila Pancasila versi Ir.
Soekarno yang menyatakan ‘KETUHANAN yang
BERKEBUDAYAAN.
Adapun dalam PREAMBUL MUKADIMAH UUD 1945, yang disebut
sebagai PIAGAM JAKARTA, frasa yang
digunakannya adalah atas berkat rahmat alloh yang MAHA KUASA.
Yang diganti dalam Pembukaan UUD 1945 dalam
Berita Negara 1946 menjadi
berkat “RAHMAT TUHAN yang maha kuasa”
Apakah frasa
TUHAN dan KETUHANAN YANG MAHA ESA, dan RAHMAT TUHAN adalah dimaksudkan
dengan keyakinan TAUHID-nya dalam ajaran ISLAM,sebagaimana diasumsikan
banyak orang, termasuk para ulama,cendekiawan di Indonesia?
Inilah akar (RADIX)-nya persoalan yang tak pernah
dikaji secara keilmuan berdasarkan
rujukan al Quran dan al Hadist serta
ijma/ijtihad ulama, dan hanya cukup
diselesaikan dalam level consensus
politik yang tentunya penuh dengan kepentingan-kepentingan pragmatis.
Oleh seorang Noercholis Madjid, ditafsirkan sebagai ‘KALIMATUN SAWA’,nya umat beragama di Indonesia, antara Islam dan
agama-agama lainnya. Pandangannya yang kian
menimbulkan kegaduhan dan kerancuan intelektual semakin dalam ke
dasar jurang kesesatan pemikiran akidah
dikalangan bangsa Indonesia yang
mayoritas muslim.
Frasa TUHAN jelas
bukan istilah baku dalam al Quran-Hadits dan Ijma. Dari sini saja sudah
tertolak, apalagi jika frasa
ini dipaksakan digunakan dalam
komunikasi internal umat
islam dan eksternal umat islam untuk menjelaskan suatu
DZAT yang jelas-jelas tegas terang
benderang dalam al Quran disebut ALLOH. Apakah sebagai muslim akan
tetap berdiam diri saja dengan hal yang secara prinsip bertentangan dengan aqidah-tauhid ?
Asal usul kata
TUHAN merupakan pengaruh agama Kristen, yang menyerap kata TUAN dari bahasa Melayu, menjadi TUHAN untuk menyebut
entitas yang ghaib,dalam terjemahan
AL KITAB ke dalam bahasa Melayu oleh
PDT. DR. MELCHIOR LEIJDECKER yang
terbit tahun1733. Adapun kata TUHAN sendiri berasal dari Sankrit, yaitu TUH HYANG
yang berarit roh atau dewa yang memilii status tertinggi di kahyangan.
Menjelang akhir abad ke-17, Majelis Gereja Batavia
merencanakan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Tinggi, yaitu ragam
bahasa yang dipakai dalam tulisan-tulisan Melayu.
Pdt. Dr. Melchior Leijdecker Pada tahun 1675 Pdt. Leijdecker
ditugaskan ke Hindia Belanda, sebagai pendeta pelayanan tentara di Jawa Timur.
Ia meneliti naskah-naskah Alkitab dalam
bahasa-bahasa aslinya dan dengan tekun mencari padanan kata dan istilah dalam
bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab.
Setelah Pdt. Valentyn meninggal dunia pada tahun 1727,
naskah terjemahan Pdt. Leijdecker diteliti kembali oleh Pdt. Pieter van der
Vorm beserta timnya. Terjemahan itu dibandingkan dengan naskah bahasa-bahasa
asli Alkitab dengan terjemahan Alkitab dalam bahasa Arab, Aram (Siria), Latin,
Inggris, Jerman, Perancis, dan Spanyol. Kemudian diterbitkanlah Perjanjian Baru
pada tahun 1731 dan Alkitab lengkap pada tahun 1733. Terjemahan Leijdecker
nantinya dipakai di kawasan Indonesia dan di Semenanjung Malaka selama hampir
dua abad.
Kita saksikan, bahwa
frasa TUHAN ini digunakan secara
resmi oleh negara untuk menyebut nama DZAT yang diyakini negara
sebagai mewakili untuk sebuah entitas maha ghaib. Keputusan
ini saja merupakan bentuk dari sebuah ‘keyakinan atau kepercayaan baru’
yang berarti negara memiliki agama
resmi-kenegaraannya sendiri, tanpa menyebut apa nama agamanya tersebut,
tetapi yang mendekati nama agamanya
adalah PANCASILA.
Hal ini sejalan dengan berbagai pernyataan dan pengakuan
pejabat tinggi tentang PANCASILA sebagai
ideologi negara.Bahwa “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler,
tetapi Negara Pancasila, yang
berketuhanan yang Maha Esa” Ini adalah ungkapan dan pernyataan resmi
pemerintahan terhadap siapapun yang bertanya tentang Indonesia dalam kaitannya
dengan keyakinan dan ideologi.
Apakah frasa KETUHANAN YANG MAHA ESA’ secara
sosio-linguisitk berarti TAUHID menurut umat Islam? Banyak yang keliru salah,
antara kata ESA dan EKA itu sama artinya, padahal jelas secara fonemik beda S dan K.
menghasilkan makna yang berbeda. ESA dalam Bahasa Sanskrit berarti ‘SESUATU KEBERADAAN YANG MUTLAK’.
Asal katanya ETAD artinya dalam Bahasa Inggris
‘as this’, ‘as it is’ or ‘the,’yaitu
suatu SIFAT KEKUASAAN.
Berbeda dengan kata EKA, yang artinya SATU sebagai
berbilang, ada dua, tiga dan seterusnya. Adapun ESA, dimaknai sebagai The Only One yang dirujukan dengan
sesuatu yang mutlak adanya. Esa selalu berkaitan dengan TUHAN,sehingga TUHAN
YANG ESA bukan TUHAN YANG EKA.
Dengan demikian
, KETUHANAN itu artinya merujuk kepada ‘hal yang menyangkut
sifat-sifat TUHAN, bukan TUHAN sendiri,sehingga keliru menyimpulan
bahwa KETUHANAN YANG MAHA ESA itu berarti tentang TUHAN YANG ESA.
Pertanyaanya, siapa yang dimaksud engan
TUHAN YANG ESA?
Menurut UUD/UU tidak ada penjelasannya tentang siapa
nama TUHAN YANG ESA itu? Jika, ditanyakan kepada keyakinan KRISTIANI, apakah
itu berarti TRINITAS? Atau salahsatu darinya? Jika ditanyakan kepada HINDU,
apakah itu berarti Dewa-dewa tertinggi mereka,seperti SYIWA,BRAHMANA? Atau jika
ditanyakan kepada orang-orang HINDU , itu berarti HYANG WIDI ? Jika ditanyakan kepada MUSLIM, apakah itu
berarti ALLOH ?
Namun, menurut
UUD atau UU, bahwa yang dimaksud dengan TUHAN YANG ESA itu nama
entitasnya DZATNYA adalah TUHAN. Maka, Negara (RI) memiliki nama baku sendiri untuk menyebut
Dzat yang ghaib itu bernama TUHAN. Inilah nama tuhannya negara yang digunakan
oleh para pejabatnya. Adapun agamanya bernama PANCASILA. Tidak ada yang lain.
Para pejabat negara
itu sekalipun mengaku
beragama ISLAM tetapi dalam
konteks kehidupan bernegaranya
menggunakan kata sebutan
TUHAN YANG (MAHA) ESA?
Adapun MAHA, itu arti sebenarnya
adalah MULIA, sangat, amat, teramat, tak
tertandingi; besar, yaitu tentang superlative yang berarti ‘status tertinggi dari sebuah
entitas’.Misalnya, SISWA jadi MAHASISWA, artinya diatas level SISWA,MAHAGURU,
artinya GURUBESAR, diatas level kemuliaan seorang guru. Sebuah kerancuan
pemahaman linguistik yang tak pernah merasa perlu dikontruksi kembali dengan benar karena sudah menjadi doktrin, AKSIOMA- DOGMA dan PARADOGMA
diatas ilmu dan sains serta filsafat dan logika. - Jatinangor 21, 22 Juni 2023 -( Red,- Kaboa )
0 Komentar