KABARMERAHPUTIH,--Hari itu, semangat
kemerdekaan masih menyala. Gegap gempita perayaan berdenging di seluruh penjuru
nusantara. 17 Agustus 1945, kebahagiaan terlihat terang di setiap mata rakyat
Indonesia.
Tapi sore, di hari yang
sama, mungkin tak banyak yang tahu, sekaligus menjadi awal yang kelabu bagi
perjuangan umat Islam dalam mempertahankan tujuh kata "sakral" dalam
Piagam Jakarta. Inilah, kata Mohammad Roem, detik-detik pengorbanan terbesar
umat Islam.
Dalam Majalah Serial
Dakwah No.84 Mei 1981, seperti dikutip dalam buku M. Natsir yang berjudul Asas
Keyakinan Agama Kami, Mohammad Roem menceritakan kronologis dihapusnya tujuh
kata dari Piagam Jakarta. Tujuh kata itu adalah: "Dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Di sore hari, 17 Agustus
1945, Mohammad Hatta menerima telepon dari Tuan Nasyijima, pembantu Admiral
Mayeda yang isinya adalah menanyakan apakah Bung Hatta dapat menerima seorang
opsir kaigun (angkatan laut Jepang).
Opsir itu hendak
menyampaikan hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Nasyijima sendiri
yang akan menjadi penerjemahnya.
Opsir itu datang untuk
memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai
oleh angkatan laut Jepang tidak dapat menerima bagian kalimat dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar yang berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Meski hanya untuk umat
Islam dan tidak mengikat mereka, mereka beranggapan tujuh kata itu adalah
bentuk diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika tujuh kata itu tetap
"dipaksakan" tercantum dalam Piagam Jakarta, mereka mengancam akan
keluar dari Republik Indonesia.
Roem mengomentari, ini
adalah kerugian besar bagi umat Islam.
Piagam Jakarta pada
mulanya adalah preambul yang disusun oleh panitia 9 yang terdiri dari: Bung
Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Wahid Hasyim,
Prof Soepomo, Mr Maramis, Kyai Kahar Muzakkir, dan Mr Mohamamd Yamin.
Saat itu Bung Karno sebagai
ketua panitianya. Pada pidatonya, Bung Karno mengatakan bahwa preambul yang
telah disusun adalah "kompromis yang dicapai dengan susah payah antara
golongan nasionalis dan golongan Islam."
Namun demikian. Tujuh
kata di dalamnya telah benar-benar hilang gara-gara pernyataan seorang opsir
kaigun.
Sebenarnya, sampai
sekarang pun masih misterius siapa sebenarnya opsir yang mengaku dari kaigun
itu? benarkan yang ia katakan? bagaimana pula resolusi yang diambil golongan
Kristen? Bung Hatta tak sempat menanyakan itu. Beliau percaya tentang kabar
itu.
Karena kabar itu
terdengar begitu serius dan mendesak, maka pagi hari, tanggal 18 Agustus 1945,
Hatta bersama Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo dan Mr
Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan rapat untuk membicarakan masalah itu. Bung
Hatta berhasil melobi mereka hingga pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan,
Undang-Undang Dasar diterima dengan suara bulat tanpa menyertakan tujuh kata
"dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Tujuh kata itu diganti
dengan kalimat "ketuhanan Yang Maha Esa" sesuai dengan amandemen dari
Ki Bagus Hadikusumo.
Semua yang hadir dalam
rapat, khususnya kalangan Islamis, bersepakat bahwa semangat Piagam Jakarta
tidak lenyap bersama lenyapnya tujuh kata itu.
Hal itu diperkuat oleh
Presiden Soekarno dalam pertimbangan dekrit 5 Juli 1959 bahwa "Kami
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut."
Roem menjelaskan, Dekrit
sejatinya memang tidak mengubah UUD 1945, tetapi UUD 1945 tidak akan berlaku
lagi tanpa dekrit. Jadi setiap perkataan dalam dekrit pasti ada maknanya.
Termasuk kata-kata
"Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945". Pernyataan lain yang memperkuat
tentang ruh Piagam Jakarta adalah ketika Achmad Sjaihu, anggota DPRI RI
bertanya pada pemerintah yang dijawab oleh Perdana Menteri Djuanda tentang
apakah tujuh kata dalam Piagam Jakarta dapat dijadikan dasar untuk membuat
perundang-undangan yang sesuai dengan syariat Islam?
Beliau menjawab, bahwa
dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam yang dapat
disesuaikan dengan syariat Islam - // Copas,- surabaya.jatimnetwork.com ( Merah
Putih )
0 Komentar